Rabu, 21 Desember 2011

Masyarakat Adat di SM Bukit Rimbang Bukit Baling Terancam

“ Sudah jatuh Ditimpa Tangga"
Pekanbaru, Sekitar empat kommunitas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Riau berada dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling, yaitu ; Kekhalifahan Batu Sanggan (terdiri 8 desa ), Kekhalifahan Ludai (terdiri 13 desa), Kekhalifahan Ujung Bukit ( terdiri 4 desa) dan Kekhalifahan Kuntu (terdiri 4 desa) secara administratif berada di Kabupaten Kampar, Riau. Masyarakat Adat ini telah mendiami Kawasan ini ratusan tahun yang lalu, mereka hidup dengan damai dengan menggunakan aturan-aturan adat.

Dalam pengaturan sosial ekonomi masyarakat, mereka memiliki kelembagaan adat, kemudian dalam pengelolaan sumberdaya alam mereka memiliki pula aturan-aturan adat seperti adanya Tanah ulayat, hutan adat,hutan larangan dan lubuk larangan. Dengan aturan-aturan adat yang mereka terapkan,alhamdulillah sosial ekonomi dan pengelolaan SDA mereka terjaga dengan baik.

Setelah Indonesia merdeka, masayrakat adat inipun sepakat menjadi warga bangsa indonesia dengan harapan ada perbaikan dalam kehidupan dan mendapatkan kesejahteraan dengan tidak meninggalkan kearifan adat, aturan adat baik dalam sosial ekonomi maupun dalam pengelolaan sumberdaya alam mereka, lebih2 masyrakat adat kekhalifahan Batu sanggan, karena sampai saat ini mereka masih terisolasi tidak adanya akses jalan dan masih menggunakan alat tranportasi tradisional (sampan).

Setelah indonesia merdeka, Apa yang mereka dapatkan? Terrnyata harapan yang diinginkan hanya tinggal kenangan, Maka pada saat ini tidak berlebihan kalau mereka bak pepatah ; “Sudah Jatuh Ditimpa Tangga Pula”, “Ayam mati dilumbung padi.

Malapetaka ini berawal dari penunjukan secara sepihak tanah ulayat mereka dengan kebijakan Pemerintah penetapan kawasan lindung Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 173/Kpts-II/l986 Tanggal 6 Juni 1986 surat Keputusan Menteri seluas 136.000, berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau No. Kpts 149/V/1982 tanggal 12 Juni 1982. Sebelum tanah ulayat adat ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa disini terdapat Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yaitu HPH PT. Brajatama I, PT Brajatama II dan PT. Union Timber. Proses pengukuhan dan penetapan SM. BRBB sebenarnya tidak terlalu jelas. Kenegerian dan desa-desa yang berada di areal SRMBB tidak terlalu memahami bagaimana proses pengukuhan dan penetapan SRMBB. Seharusnya pengukuhan dan penetapan suatu wilayah menjadi kawasan hutan negara haruslah berlangsung transparan. Di dalam kawasan hutan negara seharusnya tidak ada hak-hak atau klaim pihak lain atas areal di dalamnya. Proses pengukuhan dan penetapan SMBRBB seharusnya disertai dengan diskusi dan berita acara untuk tempat-tempat yang dilalui trayek tata batas SRMBB. Proses dan standar tata batas dalam proses pengukuhan SMRBB diragukan telah dilangsungkan dengan sebenar-benarnya. Padahal dengan ditetapkannya SMRBB bisa menyebabkan kerugian dan gangguan terhadap kehidupan di 16 Kenegerian yang ada di dalamnya. Dampak yang sedang di hadapi masyarakat adat,khususnya Kenegerian Batu Sanggan terhadap kebijakan ini adalah terisolasi masyarakat dari akses informasi dan pembangunan, yaitu jalan darat yang dapat menghubungkan dengan daerah lainnya, masyarakat memerlukan biaya yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Pangan, Bensin, Pendidikan, dan Kesehatan), di anggap sebagai pencuri di wilayah sendiri, seperti memanfaatkan kayu di hutan untuk alat transportasi sungai (Sampan).

Padahal permintaan mereka sangat sederhana,yaitu dibebaskannya tanah ulayat,perkampungan dan diberi akses jalan darat untuk wilayah kekhalifahan Batu sanggan (yang terrdiri 8 desa) agar kesejahteraan mereka meningkat, Pemerintah sudah merespon aspirasi masyarakat ini dengan janji-janji manis.

Janji manis ini diawali dengan diterbitkannya Perda Kab. Kampar yaitu Perda No.12 Tahun 1999 Tentang Tanah Ulayat, Namun implementasinya samasekali belum ada padahal perda sudah berumur lebih dari satu dasawarsa.

Pada Tahun 2007, Gubernur Riau, Bapak Rusli Zainal, Bupati Kampar,Ketua DPRD Riau beserta semua jajaran pemerintahan Provinsi dan pemda Kampar memenuhi undangan masyrakat adat Batu sanggan dalam acara “mancokau lubuk larangan” dan berturut-turut setelah itu berkunjung Menteri PDT dan Menteri Kehutanan. Dalam acara tersebut, Gubri menyampaikan akan menindaklanjuti kekementerian kehutanan dan menjanjikan akan memberikan akses jalan bagi kawasan masyrakat adat Kekhalifahan Batu sanggan dengan tetap menjaga SM BRBB dan masyrakatpun mengamininya.

Pada penghujung Tahun 2011, AMAN Riau bersama jaringan NGO Riau mendapatkan data bahwa adanya perencanaan perubahan tata ruang di SM BRBB dalam peta tersebut akan ada alih fungsi lahan tapi ironisnya APL tersebut tidak mengakomodir aspirasi Masyrakat Adat yang berada di kawasan SM BRBB, jadi artinya masyarakat tetap akan jadi tumbal, dan ditenggarai adanya kepentingan lain untuk mengekploitasi SDA yang ada dikawasan SM BRBB. Kalau perubahan tata ruang ini dikabulkan Masyarakat Adat semakin terpuruk dan SM BRBB akan hancur.

AMAN Riau bersama masyarakat adat telah dan akan tetap berjuang untuk hak – hak Masyarakat Adat. AMAN Riau dan LSM HAKIKI telah memfasilitasi Kenegerian Kuntu, Pangkalan Kapas dan Kenegerian Batu Sanggan melakukan pemetaan partisifatif sebagai bagian pengamanan wilayah adat mereka, walaupun disisi lain peraturan,kebijakan pemerintah kurang berpihak kepada mereka dan akan tetap dilakukan hal yang sama terhadap kampung-kampung lain.

Kejadian terakhir, terjadinya banjir bandang pada tanggal 25 november di kawasan Kekhalifahan Batu Sanggan yang menelan korban jiwa dan harta benda ironisnya pula sebagian kalangan menyalahkan masyrakat, sebab terjadinya banjir bandang akibat ilegal logging yang dilakukan masyarakat dan terakhir adanya surat kelompok tani masyrakat adat Kuntu ke KAPOLRI, Bahwa adanya manipulasi penetapan tata batas yang dilakukan oleh oknum BKSDA Riau sehingga merugikan kelompok tani tersebut dan akibat keputusan tersebut memberi peluang bagi pihak lain untuk mendapatkan SKT/SKGR dan ini akan menambah hancurnya SM BRBB.

AKANKAH KAWASAN INI JADI THE NEXT MESUJI ?????????

Untuk itu AMAN RIAU mengajak kita semua untuk mendesak dan mendorong Pemerintah Pusat,DPR, Pemda Riau,Pemda Kampar dan pihak-pihak lain yang berkepentingan di SM BRBB. 1. Mendesak Pemda Kampar untuk mengimplementasikan PERDA NO.12 TAHUN 1999 TENTANG TANAH ULAYAT, 2. Mendesak Pemprop Riau menghentikan rencana perubahan tata ruang SM BRBB yang tidak sesuai dengan kehendak masyrakat adat yang berada dikawasan tersebut. 3. Mendesak BPN Riau, BPN Kampar, BLH Riau, BLH Kampar dan KOMNASHAM untuk bekerjasama dengan AMAN Riau melaksanakan MoU-Mou antara AMAN Dengan BPN RI, AMAN dengan Kementerian KLH dan AMAN dengan KOMNASHAM terakhir 4. Mendesak dan mendorong DPR RI untuk mensahkan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat pada PROLEGNAS 2012.

EFRI SUBAYANG
KETUA BPH AMAN WILAYAH RIAU

Senin, 28 November 2011

BANJIR BANDANG KAMPARKIRI HULU

Dalam hitungan satu jam air Sungai Beruik bagian dari anak Sungai Subanyang tepat nya di sebelah Desa Aurkuning mengamuk di akibatkan hujan yang tak henti semalaman ful, dan menelan korban jiwa 2 orang dinyatakan tewas dan miliyaran kerugian Masyarakat Adat yang berada di aliran Subayang tersebut.
                                                                                      diantara 11 Desa yang di landa Banjir terse
but, 4 diantaranya yang paling parah,Desa Batu Sanggan,Aurkuning,Gajah Bertalut.Tanjung Beringin,Sarana pendidikan yang tak bisa lagi pasilitas yang ada di pergunakan SMP,  SD,  MDA.

Dan Warga setempat sangat mengharabkan bantuan dari pemerintah, komunitas Adat yang tersapu arus banjir ini tak memiliki akses jalan darat
hanya bisa melewati transportasi Sungai dan sangat serba salah untuk menuju ke kampung mereka, apa lagi kampung-kampung yang paling Hulu. kondisi di Sungai Subayang tersebut Bebatuannya sangat besar-besar.
apa bila musim kemarau tiba, Sungai Subayang tersebut sangat dangkal. juga semakin tambah sulit untuk di tempuh, mereka hanya bisa memakai Sampan dari kayu yang  muatannya  2-3 orang.

BANJIR BANDANG KAMPAR KIRI HULU, Kab KAMPAR

Kamis, 24 November 2011

Testing Upload

Propinsi Riau sangat kaya dengan sumber daya alam-nya (SDA ), selain migas Riau juga
memiliki hutan alam tropis dataran rendah yang sangat luas. Hutan di Riau ditumbuhi oleh
jenis kayu yang berkualitas tinggi seperti: ramin, meranti, kempas dan lainnya. Di hutan
Riau juga hidup berbagai jenis satwa yang sudah hampir punah seperti gajah Sumatera,
harimau Sumatera, tapir Melayu dan juga berbagai jenis satwa burung. Dari hasil penelitian
yang pernah dilakukan, hutan riau memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang sangat
tinggi. Bagi masyarakat Riau hutan memiliki arti yang sangat penting selain sebagai sumber
ekonomi hutan juga memiliki arti relegius sehingga dalam pengelolaannya memiliki kearifan
(aturan-aturan) untuk menjaga kelestarian hutan.


Sejak tahun 70-an ekspoitasi secara besar-besaran dengan tujuan komersil meningkat
dengan pesat, akibatnya hutan di Riau mulai mengalami kerusakan yang cukup signifikan.
Kerusakan hutan terus terjadi seiring dengan semakin banyaknya kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah berupa ijin hak penguasaan Hutan (HPH) kepada perusahaan swasta dan
ijin konversi guna membuka lahan perkebunan skala besar. Kebijakan pemerintah yang ada
sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat lokal/adat, yang ada sebelum kebijakan itu
dikeluarkan. Akses masyarakat terhadap hutan menjadi hilang, kearifan tradisional yang
selama ini dimiliki mulai terkikis yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kemiskinan
pada masyarakat adat/lokal.
Faktor lain yang menyebabkan kerusakan sumber daya hutan di propinsi Riau adalah
tingginya kebutuhan kayu (demand) untuk perusahaan industri kayu dibandingkan produksi
kayu bulat (supply) yang dihasilkan dari hutan alam maupun hutan tanaman. Dekade 80-an
merupakan awal dari pertumbuhan perusahaan industri pengolahan kayu (sawmills, plymills,
pulp & paper serta pengolahan kayu lanjutan) di propinsi Riau. Ketidakseimbangan antara
kebutuhan kayu dengan persediaan kayu menyebabkan setiap industri pengolahan kayu harus
bersaing untuk mendapatkan supply kayu dari hutan-hutan alam dan juga dari hutan tanaman,
baik itu secara legal maupun ilegal untuk menutupi kekurangan bahan baku yang diperlukan.
Forest Watch Indonesia memiliki peran strategis dalam proses demokratisasi pengalokasian
dan pengelolaan sumberdaya hutan dengan cara mengembangkan transparansi informasi
kehutanan melalui kegiatan monitoring dan penguatan simpul-simpul monitoring yang
terdesentralisasi. Peran tersebut agak sulit dilakukan tanpa ada kapasitas sumberdaya manusia
dan peralatan yang mendukung, oleh karena itu maka pelatihan tersebut sangat dibutuhkan.
Sesuai kebutuhan tersebut dan dalam rangka penguatan simpul FWI maka sekretariat
FWI akan mengirimkan staf-nya dan untuk mengadakan Pelatihan GIS dan Remote Sensing
yang dilaksanakan pada tanggal 26 Oktober 2004 – 3 Nopember 2004 di Yayasan Hakiki,
Pekan Baru, Riau.